Sejarah Kereta Api dari masa ke masa
Sejarah kereta api di indonesia dimulai dari Semarang. Mungkin NAMA
Lawang Sewu memang tak asing lagi bagi warga Kota Semarang. Bangunan
bersejarah tersebut merupakan salah satu tetenger kota, selain Tugu
Muda, Museum Mandala Bhakti, Pasar Bulu, dan Balai Kota..
Namun Lawang Sewu tak hanya terkait dengan peristiwa heroik pertempuran
lima hari. Lebih dari itu, bangunan unik tersebut tak bisa terlepas dari
sejarah perkeretapian di Indonesia. Menurut rangkuman sejarah yang
disusun PT KA, semula Lawang Sewu milik NV Nederlandsch Indische
Spoorweg Mastshappij (NIS), yang merupakan cikal bakal perkeretapian di
Indonesia. Saat itu ibu kota negeri jajahan ini memang berada di
Jakarta. Namun pembangunan kereta api dimulai di Semarang..
Sejarah Trayek Pertama Kereta Api Dan Pembangunan Rel Kereta Api di Indonesia
Jalur pertama yang dilayani saat itu adalah Semarang – Yogyakarta.
Pembangunan jalur itu dimulai 17 Juni 1864, ditandai dengan pencangkulan
pertama oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Sloet van Den Beele. Tiga
tahun kemudian, yaitu 19 Juli 1868 kereta api yang mengangkut penumpang
umum sudah melayani jalur sejauh 25 km dari Semarang ke Tanggung.
Dalam perkembangan setelah jalan kereta swasta berkembang luas,
ditetapkan bahwa pembangunan jalan kereta adalah tanggung jawab
pemerintah, yang dikoordinir oleh Gubernur Jenderal setelah mendapat
konsesi dari Ratu Wilhelmina.
Berdasarkan surat Raja Djawa, 28 Mei 1842, diusulkan agar periode
1842–1862 persiapan pemasangan jaringan jalan rel dari Semarang ke Kedu
dan beberapa wilayah Kerajaan di Jawa dapat dilakukan. Dalam aturan
tersebut ditetapkan pula bahwa gerbong-gerbong untuk pengangkutan
ditarik oleh kerbau, sapi, atau kuda. Belum direncanakan penarikan oleh
lokomotip sebagaimana lazimnya kereta api sekarang. Usulan Raja Djawa
ini tidak dipenuhi pada tahun 1846 Gubernur Jenderal Rochussen
mengusulkan kepada Kerajaan Belanda agar menolak usulan tersebut.
Selanjutnya diusulkan untuk penyediaan dana pemasangan rel di lintas
Batavia–Bogor. Namun, tahun 1851, Gubernur Jenderal Duymer van Twist
meminta Kerajaan Belanda untuk mempertimbangkan kembali pemberian
konsesi pembangunan jalan rel kereta kepada swasta. Akhirnya tahun 1857
didapat prinsip bahwa pembangunan jalan rel bisa dilakukan lagi oleh
swasta.
Tahun 1871 Bose, salah seorang penentang pembangunan jalan kereta
swasta, menyusun RUU pemasangan jalan rel kereta api negara. Tapi RUU
itu tak pernah muncul ke permukaan, karena Menteri Transportasi Belanda
Fransen van der Putte menariknya. RUU pemasangan rel lintas
Surabaya–Pasuruan dengan simpangan di Bangil dan Malang diusulkan
Menteri Urusan Daerah Jajahan Mr. Baron van Golstein. Tanggal 6 April
1875, pemerintah Hindia Belanda menyatakan tanggal tersebut sebagai awal
kehadiran kereta api pemerintah di tanah jajahan yang diurus oleh suatu
jawatan dipimpin oleh seorang Inspektur jendral.
Tanggal 1 Maret 1885 Jawatan ini dihapus dan digabung dengan Departemen
van BOW atau Pekerjaan Umum. Dan 1 Juli 1909, Jawatan Kereta Api dan
Tram Negara digabung dengan Departemen Perusahaan Negara (Gouvernement
Bedrijven) yang dipimpin seorang Kepala Inspektur.
Tanggal 1 Nopember 1917, kembali terjadi strukturisasi, sehingga dalam
Jawatan Kereta Api terdapat beberapa bagian yang masing-masing bagian
dipimpin Kepala Bagian. Kepala Jawatan Kereta Api dan Tram dipimpin
Direktur Perusahaan Negara yang memegang pimpinan dalam pemasangan,
persediaan dan lingkungan eploitasi jalan kereta dan tram. Sementara
pengawasan umum terhadap kereta dan tram ditangani oleh Jawatan
tersendiri. Sejak itu Jawatan yang menangani pengawasan umum telah
melakukan pengawasan terhadap perusahaan kereta api milik pemerintah dan
swasta. Pimpinan Jawatan yang mengawasi keseluruhan ini disebut Kepala
Dinas Pengawasan Kereta Api dan Tram yang bernaung di bawah Departemen
Perusahaan Negara.
Tanggal 15 Maret 1924, ketika Kepala Inspektur Dinas Pengawsan Kereta
Api dan Tram dipimpin oleh Ir Staargaard, dengan seijin Pemerintah
Belanda melakukan pembagian wilayah pengawasan menjadi tiga: Eksploitasi
Barat, Tengah, dan Timur. tapi pada awal pelaksanaannya Kepala
Eksploitasi hanya sekedar pelaksana saja, yang tunduk kepada Kepala
Inspektur di Bandung.
Tanggal 1 April 1934, kembali dilakukan reorganisasi dan restrukturisasi
lagi yang diarahkan untuk menekan anggran operasi. Dengan begitu Kepala
Eksploitasi memiliki kewenangan manajemen secara penuh.
Sejarah Kantor Kereta Api
Dengan beroperasinya jalur tersebut, NIS membutuhkan kantor untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Lokasi yang dipilih
kemudian adalah di ujung Jalan Bojong (kini Jalan Pemuda). Lokasi itu
merupakan perempatan Jalan Pandanaran, Jalan Dr Soetomo, dan Jalan
Siliwangi (kini Jalan Soegijapranata)..
Saat itu arsitek yang mendapat kepercayaan untuk membuat desain adalah
Ir P de Rieau. Ada beberapa cetak biru bangunan itu, antara lain A 387
Ned. Ind. Spooweg Maatschappij yang dibuat Februari 1902, A 388 E Idem
Lengtedoorsnede bulan September 1902, dan A 541 NISM Semarang Voorgevel
Langevlenel yang dibuat tahun 1903. Ketiga cetak biru tersebut dibuat di
Amsterdam. Namun sampai Sloet Van Den Beele meninggal, pembangunan
gedung itu belum dimulai. Pemerintah Belanda kemudian menunjuk Prof
Jacob K Klinkhamer di Delft dan BJ Oudang untuk membangun gedung NIS di
Semarang dengan mengacu arsitektur gaya Belanda..
Lokasi yang dipilih adalah lahan seluas 18.232 meter persegi di ujung
Jalan Bojong, berdekatan dengan Jalan Pandanaran dan Jalan Dr Soetomo.
Tampaknya posisi itu kemudian mengilhami dua arsitektur dari Belanda
tersebut untuk membuat gedung bersayap, terdiri atas gedung induk, sayap
kiri, dan sayap kanan..
Sebelum pembangunan dilakukan, calon lokasi gedung tersebut dikeruk
sedalam 4 meter. Selanjutnya galian itu diurug dengan pasir vulkanik
yang diambil dari Gunung Merapi. Pondasi pertama dibuat 27 Februari 1904
dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah
dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa,
kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati..
Setiap hari ratusan orang pribumi menggarap gedung ini. Lawang Sewu
resmi digunakan tanggal 1 Juli 1907. Dalam perkembangannya, Lawang Sewu
juga terkait dengan sejarah pertempuran lima hari di Semarang yang
terpusat di kawasan proliman (Simpanglima) yang saat ini dikenal sebagai
Tugu Muda. Pada peristiwa bersejarah yang terjadi 14 Agustus 1945 – 19
Agustus 1945 itu, gugur puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Lima di
antaranya dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu. Mereka adalah
Noersam, Salamoen, Roesman, RM Soetardjo, dan RM Moenardi. Kereta api
kemudian menyerahkan halaman depan seluas 3.542,40 meter persegi pada
Pemda Kodya Semarang. Sedangkan makam lima jenasah di halaman itu, 2
Juli 1975 dipindah ke Taman Makam.
Pahlawan Giri Tunggal dengan Inspektur Upacara Gubernur Jateng Soepardjo
Roestam. Kini lahan gedung Lawang Sewu tinggal 14.689,60 meter per
segi.
Kini perkeretaapian indonesia terbilang maju meski masih kalah jauh
dengan kereta api dinegara lain seperti singapura namun kini PJKA telah
memiliki 8 KA eksekutif argo yang tidak kalah kenyamanannya.
ABA/argo bromo anggrek (Jakarta gambir - Surabaya pasar turi PP)
Argo Bromo Anggrek mulai dioperasikan pada tanggal 24 September 1997.
Produk ini merupakan pengembangan merk dari KA Argo Bromo JS-950 yang
diresmikan pertama kali perjalanannya oleh Presiden RI pada tanggal 31
Juli 1995 menandai Hari Teknologi Nasional 12 Agustus 1995.
Nama Bromo diambil dari salah satu gunung yang berada di kawasan Taman
Nasional Tengger Semeru, Jawa Timur. Panorama wisata gunung Bromo yang
memiliki ketinggian 2.392 m ini selain menyimpan makna ritual kultural
dan religius juga menyajikan keindahan kawah dan keasrian alam
lingkungannya yang membuat kawasan Gunung Bromo menjadi sangat terkenal
dan menjadi salah satu tujuan utama wisatawan domestik maupun
mancanegara.
Sebutan Anggrek digunakan untuk menandai adanya pengembangan merk dari
produk sebelumnya, sehingga warna eksterior kereta tersebut disesuaikan
dengan paduan warna setangkai bunga anggrek.
Perjalanan Gambir-Surabaya Pasarturi sejauh 725km melalui lintas Utara
ditempuh dalam waktu -/+ 10 jam. KA Argo Bromo Anggrek dengan kapasitas
400 tempat duduk, terdiri dari 8 rangkaian kereta kelas eksekutif dan
dalam perjalanannya berhenti di Stasiun Cirebon, Pekalongan dan
Semarang.
KA Argo Bromo Anggrek menyediakan sarana hiburan selama dalam perjalanan
berupa tayangan audio/video. Selain sarana hiburan penumpang, dapat
juga memesan makanan dan minuman sesuai dengan menu pilihan yang
disediakan dan bisa dinikmati baik di tempat duduk masing-masing maupun
di kereta restorasi yang didesain sebagai bar mini yang dilengkapi
dengan fasilitas untuk berkaraoke.
Semua ini sengaja didesain untuk membuat penumpang berada di dalam hotel
berjalan, sehingga perjalanan dengan Argo Bromo Anggrek diharapkan
dapat menghemat biaya akomodasi hotel dan setibanya di tujuan dalam
kondisi segar.
Argo Dwipangga (Jakarta Gambir - Solo Balapan PP)
Pertama kali diresmikan oleh Menteri Perhubungan RI pada tanggal 21
April 1998 menggunakan nama KA Dwipangga. Akan tetapi seiring dengan
tuntutan pelanggan yang menginginkan penambahan KA Argo koridor
Jakarta-Solo, maka KA Dwipangga sengaja didesain ulang untuk layanan
sekelas KA Argo, sehingga namanya pun diganti menjadi KA Argo Dwipangga
pada tanggal 5 Oktober 1998.
Kata Argo digunakan sebagai nama dagang layanan kereta api eksekutif dan
penamaan Dwipangga memang sengaja dibedakan dengan argo lainnya yang
lazim menggunakan nama gunung mengingat nama Dwipangga dirasakan sudah
sangat melekat di benak pelanggan.
Kata Dwipangga diambil dari sebutan kendaraan Dewa Indra berupa gajah
yang setia dan mampu melindungi pengendaranya dalam segala cuaca,
sehingga menumbuhkan kebangsaan dan prestise agi penumpangnya.
Perjalanan sejauh 576 km ditempuh dalam waktu sekitar 8 jam dan hanya berhenti di Stasiun Purwokerto, Klaten dan Yogyakarta.
Argo Dwipangga dengan kapasitas 400 tempat duduk dan membawa delapan
rangkaian kereta kelas eksekutif menawarkan alternatif perjalanan pada
pagi hari dari Stasiun Gambir ke Solo Balapan dan perjalanan pada malam
hari dari arah sebaliknya (berkebalikan dengan alternatif perjalanan
yang ditawarkan oleh KA Argo Lawu)
Argo Jati (Jakarta Gambir - Cirebon PP)
Sebuah inovasi baru dari PT. Kereta Api Indonesia dalam rangka
meningkatkan pelayanan untuk memberikan kepuasan terhadap pelanggan
setia kami, khususnya koridor Cirebon-Jakarta.
Diluncurkan pada tanggal 3 November 2010 sebagai pengganti kereta
eksekutif Argo Jati yang diperkenalkan pada tanggal 12 April 2007 yang
merupakan hasil improvisasi/peningkatan dari KA Cirebon Ekspres Utama
yang diresmikan tanggal 13 Mei 2005.
Kereta Api New Argo Jati sebagai kereta ramah lingkungan dengan berbagai fasilitas lengkap yang akan setia menemani perjalanan.
New design Cabin yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada penumpang.
Dilengkapi TV, Air Conditoner, Reclining Seat, Stop Kontak, Bagasi yang
Aman, Toilet yang bersih serta pelayanan restorasi dengan menggunakan
Kereta Makan yang memberikan nuansa khusus dalam perjalanan
Cirebon-Jakarta.
Dengan menggunakan 6 rangkaian baru (K1) Kelas Eksekutif atau 300
kapasitas tempat duduk dan satu rangkaian kereta makan, New Argo Jati
menempuh perjalanan sejauh 219 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. New
Argo Jati menjadi idola baru bagi masyaralan Cirebon dan sekitarnya
Argo Lawu (Jakarta Gambir - Solo Balapan)
Pada uji coba pertama pada tanggal 13 Juli 1995 memang sengaja
dilekatkan nama J5-750 yang menggambarkan keinginan kat dari PT. Kereta
Api (Persero) untuk melayani perjalanan Solo-Jakarta dengan layanan
kereta api yang memiliki wakttu tempuh tujuh jam bertepatan dengan
momentum HUT Kemerdekaan RI ke-50.
Pada tanggal 21 September 1996 dilekatkan nama KA Solo Jaya yang
kemudian pada akhirnya diganti sesuai dengan strategi dagang Argo dengan
nama KA Argo Lawu. KA Argo Lawu membawa rangkaian sebanyak delapan
rangkaian kelas eksekutif dan memiliki kapasitas 400 tempat duduk.
Perjalanan Solo-Jakarta (576 km) ditempuh dalam waktu kurang lebih tujuh
jam tiga puluh menit dan hanya berhenti di Stasium Klaten, Yogyakarta,
Purwokerto dan Cirebon.
KA Argo selain nama gunung juga merupakan nama dagang layanan kereta api
eksekutif yang dimaksudkan untuk menambah kebanggaan konsumennya.
Sedangkan nama lawu diambil dari nama sebuah gunung (Gunung Lawu) yang
terletak di sebelah timur laut Kota Surakarta (wilayah administratif
Kaupaten Karanganyar dan Magetan) yang memiliki ketinggian 3.245 km.
Dengan puncak berupa daratan yang berbukit-bukit dan sisa-sisa kawah
yang telah lama tidak aktif merupakan panorama yang sangat indah yang
dapat kita saksikan dari Lembah Tawangmangu dan Telaga Sarangan.
Argo Muria (Jakarat Gambir - Semarang Tawang)
Argo Muria diluncurkan pertama kali pada tanggal 22 Desember 1997.
Kereta api ini menawrakan laternatif perjalanan dengan jadwal
pemberangkatan pagi hari dari arah Semarang ke Jakarta dan sore hari
dari arah sebaliknya.
Diikuti oleh peluncuran KA Argo Muria II pada tanggal 20 Mei 2001 yang
menawarkan alternatif perjalanan yang berkebalikan dengan Argo Mulia I
yang belakangan ini berganti nama menjadi KA Argo Sindoro.
Argo selain berarti gunung juag merupakan nama dagang layanan kereta api
eksekutif. Kata Muria berasal dari nama gunung (Gunung Muria) yang
memiliki ketinggian 1.602m di atas permukaan laut (dpl) dan berada di
sebelah Utara Kota Kudus (69km dari arah Kota Semarang).
Kawasan gunung ini terkenal dengan berbagai satwa langka seperti :
burung plontang, elang muria, rusa dan kera. Demikian juga dengan
Sindoro adalah nama gunung dengan ketinggian 3.150m dpl, yang terletak
di batas Kabupaten Temanggung sebelah barat dan Wonosobo sebelah timur.
Gunung berupa Sirato ini juga dikenal dengan sebutan Sindoro atau
Sendoro, mempunyai beberapa kawah diantaranya Kawah Puncak; Segoro Wedi,
Segoro Banjaran, Kawah Utara, Kawah Selatan.
Perjalanan sejauh 445km ditempuh dalam waktu lima jam tiga puluh menit
dan hanya berhenti di Stasiun Tegal dan Pekalongan. Layanan kereta api
yang memiliki kapasitas 350 tempat duduk ini terdiri dari tujuh
rangkaian kereta kelas eksekutif.
Untuk perjalanan yang dilakukan pada siang hari, penumpang dapat
menikmati indahnya panorama di pesisir pantai utara khususnya diantara
Pekalongan – Semarang
Argo Parahyangan (Jakarta Gambir - Bandung)
Argo Parahyangan mulai dioperasikan pada tanggal 27 April 2010. Dia
adalah sebuah reinkarnasi dari Argo Gede dan Parahyangan yang dihentikan
operasinya. Kami ciptakan atas permintan pelanggan setia Kereta Api
Parahyangan relasi Bandung-Jakarta dengan rangkaian kereta gabungan
antara K1 (kereta kelas eksekutif) KA Argo Gede ditambah K2 (kereta
kelas bisnis) dari KA Parahyangan.
Kapasitas angkut yang tersedia dalam satu kereta api ini mencapai 328
tempat duduk (4 kereta eksekutif dirangkaikan dengan 2 kereta bisnis).
Argo Parahyangan relasi Bandung-Jakarta menempuh jarak 173 km.
Perjalanan kereta api di siang hari memungkinkan penumpang dapat
menikmati Indahnya panorama pegunungan di bumi Parahyangan bagian barat
dengan jalan dan jembatan kereta api yang berkelok-kelok. Selain itu
penumpang juga dapat menyaksikan hamparan Bendungan Jatiluhur.
Penumpang dapat memesan makanan dan minuman dari pramugara/pramugari
sesuai dengan menu pilihan yang disediakan serta bisa dinikmati baik di
tempat duduk masing-masing maupun di kereta restorasi yang didesain
sebagai bar mini.Semua sengaja dibuat untuk membuat layanan kereta api
ini lebih nyaman.
Argo Sindoro (Jakarta Gambir - Semarang Tawang)
Sindoro adalah nama gunung dengan ketinggian 3.150 m dpl, yang terletak
dibatas kabupaten Temanggung sebelah barat dan sebelah timur dari
wonosobo.
Gunung bertipr strato ini juga dikenal dengan sebutan sindoro atau
sendoro, mempunyai beberapa kawah diantaranya kawah puncak : segoro
wedi, segoro banjaran, kawah utara dan selatan.
Perjalanan sejauh 445 km ditempuh dalam waktu 5 jam 30 menit dan hanya
berhenti di stasiun tegal dan pekalongan. Layanan kereta api yang
memiliki kapasitas 350 tempat duduk ini terdiri dari 7 rangkaian kereta
kelas eksekutif.
Untuk perjalanan yang dilakukan pada siang hari, penumpang dapat
menikmati indahnya panorama dipesisir pantai utara khususnya antara
pekalongan dan semarang.
Argo Wilis ( Bandung - Surabaya Gubeng)
KA Argo Wilis dioperasikan pertama kalinya pada tanggal 8 November 1998.
Perjalanan sejauh 699 km ditempuh dalam waktu 11 jam dan selama dalam
perjalanan hanya berhenti di Stasiun Tasikmalaya, Kutoarjo, Yogyakarta,
Solo Balapan dan Madiun. Kereta api ini merupakan salah satu layanan
eksekutif unggulan yang menghubungkan antara Kota Bandung dan Kota
Surabaya.
Kata Argo digunakan sebagai nama dagang layanan kereta api eksekutif dan
kata Wilis diambil dari nama gunung Wilis yang memiliki ketinggian
2.169 m dari permukaan laut dan merupakan tataran pegunungan yang
panjang dengan puncak ketinggian berada di kawasan Bajulan Nganjuk, Jawa
Timur.
Kereta Argo Wilis dengan kapasitas angkut 400 tempat duduk (empat
rangkaian kelas eksekutif) menawarkan alternatif perjalanan di siang
hari yang memungkinkan pemerjalan menikmati indahnya panorama pegunungan
di Bumi Parahyangan, Banymas, Kali Serayu dan Kali Progo.
Selama ini Argo Wilis sering dipakai sebagai moda transportasi
penghubung dari Bandung ke objek wisata yang ada di Pulau Bali dan
sebaliknya. Setibanya di Surabaya biasanya penumpang transit di VIP room
Stasiun Surabaya Gubeng untuk meneruskan perjalanan ke Banyuwangi
dengan KA Mutiara Timur Malam dan sampai Banyuwangi pada pagi hari.
Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan bus PT. KAI (Persero) menuju
Denpasar, Bali. Demikian juga sebaliknya, berangkat Banyuwangi dengan
menggunakan KA Mutiara Timur Malam untuk sampai di Surabaya Gubeng.
Kemudian transit di VIP room Stasiun Surabaya Gubeng dan meneruskan
perjalanan menuju Madiun, Solo, Yogyakarta, Kutoarjo, Tasikmalaya,
ataupun bandung menggunakan KA Argo Wilis.
Jika ingin berwisata dalam satu paket dari Bandung ke Yogyakarta, Solo,
Surabaya ataupun Denpasar begitupun sebaliknya, disarankan untuk
menggunakan KA argo Wilis.
Argo Muria ( Jakarta Gambir - Semarang Tawang)
Argo Muria diluncurkan pertama kali pada tanggal 22 Desember 1997.
Kereta api ini menawrakan laternatif perjalanan dengan jadwal
pemberangkatan pagi hari dari arah Semarang ke Jakarta dan sore hari
dari arah sebaliknya.
Diikuti oleh peluncuran KA Argo Muria II pada tanggal 20 Mei 2001 yang
menawarkan alternatif perjalanan yang berkebalikan dengan Argo Mulia I
yang belakangan ini berganti nama menjadi KA Argo Sindoro.
Argo selain berarti gunung juag merupakan nama dagang layanan kereta api
eksekutif. Kata Muria berasal dari nama gunung (Gunung Muria) yang
memiliki ketinggian 1.602m di atas permukaan laut (dpl) dan berada di
sebelah Utara Kota Kudus (69km dari arah Kota Semarang).
Kawasan gunung ini terkenal dengan berbagai satwa langka seperti :
burung plontang, elang muria, rusa dan kera. Demikian juga dengan
Sindoro adalah nama gunung dengan ketinggian 3.150m dpl, yang terletak
di batas Kabupaten Temanggung sebelah barat dan Wonosobo sebelah timur.
Gunung berupa Sirato ini juga dikenal dengan sebutan Sindoro atau
Sendoro, mempunyai beberapa kawah diantaranya Kawah Puncak; Segoro Wedi,
Segoro Banjaran, Kawah Utara, Kawah Selatan.
Perjalanan sejauh 445km ditempuh dalam waktu lima jam tiga puluh menit
dan hanya berhenti di Stasiun Tegal dan Pekalongan. Layanan kereta api
yang memiliki kapasitas 350 tempat duduk ini terdiri dari tujuh
rangkaian kereta kelas eksekutif.
Untuk perjalanan yang dilakukan pada siang hari, penumpang dapat
menikmati indahnya panorama di pesisir pantai utara khususnya diantara
Pekalongan – Semarang.
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya: