Kumpulan Cerita Cinta Romantis Dan Mengharukan 2014 - Cerita Cinta romantis dan mengharukan memang selalu ada dalam setiap percintaan antara dua insan, di mana di setiap perjalanan cinta pasti ada lika - liku kehidupan yang tidak bisa di terima oleh berbagai macam orang. Berikut kami sajikan beberapa Cerita Cinta Romantis Dan Mengharukan,,:
selamat Membca,,,,!!!
Saat Aku Gagal Menikah
Dengan hati yang tulus dan tenang, kubagikan kisahku ini.
Sebut saja namaku Ridang. Semoga kisah tentang kegagalan pernikahanku ini bisa
menjadi cahaya lilin bagi hati yang meredup karena kehilangan cinta seorang
kekasih.
Aku adalah seorang karyawati di rumah sakit swasta di kota
“S”. Di antara segala kesibukan bekerja di rumah sakit dan rutinitas di asrama,
aku masih menyempatkan diri untuk bergabung dalam kelompok paduan suara. Aku
menyanyi untuk acara-acara pernikahan di gereja. Aku bersyukur dikaruniai bakat
untuk menyanyi ini. Banyak pengalaman positif yang kudapatkan dengan bergabung
dalam kelompok paduan suara .
Sebagai seorang wanita berusia 25 tahun, aku mempunyai
seorang kekasih. Dia bekerja di bidang pelayaran. Sekian lama kami menjaga
hubungan cinta dan bersikap saling percaya meski jarak sering memisahkan.
Selama beberapa tahun pula kami berusaha untuk saling mengenal dan menjalin
kasih sayang hingga suatu ketika kami memutuskan untuk menikah. Semua persiapan
pernikahan mulai dari pernak-pernik kecil kecil hingga rencana pertemuan
keluarga sudah kami bicarakan bersama.
Selain bekerja, aku juga mengikuti kursus rias pengantin.
Tentu wajar jika aku ingin membuat acara pernikahanku terasa sangat istimewa.
Aku ingin menikah dengan mengenakan gaun pengantin nuansa Eropa yang berwarna
putih dan panjang. Aku ingin mendesain sendiri gaun pengantinku. Tetapi
ternyata calon suamiku meminta kami memakai pakaian adat Jawa tengah. Apa boleh
buat, aku mengalah dan tidak ingin berdebat hanya karena masalah gaun pengantin.
Aku mendatangi salah satu penjahit dan butik langgananku.
Sebuah busana pengantin jawa telah siap dan tinggal menunggu waktu untuk segera
dikenakan. Sambil mempersiapkan banyak hal yang berkaitan dengan rencana
pernikahan kami, kami berdua sebagai calon pengantin harus mendaftarkan diri
untuk ikut kursus persiapan perkawinan di gereja. Aku mendaftarkan nama kami
untuk mengikuti kelas kursus calon pengantin. Dalam kursus itu, kami akan
diberi banyak bekal persiapan tentang hidup berkeluarga, bagaimana mengenal
pasangan lebih jauh, dan penyelidikan dari gereja tentang kelayakan untuk sah
atau tidaknya perkawinan kami.
Pada awalnya, kami berdua begitu bahagia dan tak sabar ingin
segera mengikuti kursus persiapan perkawinan itu. Tapi entah mengapa sebabnya,
secara perlahan calon suamiku semakin sulit dihubungi. Aku mulai putus asa tapi
tetap berusaha berpikir positif. Hingga akhirnya aku mengunjungi adik calon
suamiku yang kebetulan satu kota denganku. Dari adiknya aku tahu bahwa
kekasihku berpaling pada wanita lain. Rasanya aku tidak perlu menceritakan
detailnya. Namun, yang pasti hati dan perasaanku hancur berkeping-keping. Tanpa
kabar berita dia hilang begitu saja.
Setelah mendapat beberapa informasi yang cukup dapat
kupercaya, aku sudah tidak berharap banyak tentang rencana pernikahanku
dengannya. Bahkan aku tidak mampu untuk menangis karena rasanya hatiku telah
mati rasa. Rasanya dada ini sesak dan bebanku terasa berat. Aku ingin menangis
tetapi tidak setitik pun airmata keluar. Aku mengunjungi seorang biarawati di
biara dan berharap dengan bercerita padanya, aku bisa menangis dan merasa lega.
Kenyataannya, justru biarawati itu yang menangis terharu padaku.
Cukup lama aku tidak bisa menangis. Pada suatu hari seorang
teman paduan suaraku sedang menyanyi lagu ”Hadapilah dengan Senyum” dan tanpa
aku sadari, tangisku tiba-tiba meledak. Aku tidak mampu menahannya lagi. Aku
dipeluk oleh sahabatku. Sepotong syairnya berbunyi seperti ini ”bila bebanmu
terlalu berat, hadapilah dengan senyum. Bila dunia mengecewakan, hadapilah
dengan senyum. Tuhanlah bentengmu, janganlah kau bimbang akan semuanya
hadapilah dengan senyum" dan seterusnya.
Aku harus berjuang dengan segala cara untuk tetap dapat
tersenyum walau hati ingin menjerit dan menangis. Terlebih lagi, tak lama
kemudian aku mendengar kekasihku menikah dengan wanita lain. Adiknya datang
menemuiku untuk menyampaikan permintaan maaf. Bahkan dia juga tidak ingin
menghadiri pernikahan kakaknya. Satu-satunya hal yang mampu membuatku bertahan
adalah doa. Ketika aku merasa dunia sudah runtuh, rasa malu pada teman - teman,
dan bingung akan pertanyaan dari orang tuaku mengapa aku batal menikah, aku
hanya bisa berdoa. Beruntung salah satu kakakku sangat mengerti keadaanku dan
dia yang menjelaskan semua pada orang tuaku.
Pada waktu peristiwa itu terjadi, aku sedang aktif dalam
kelompok paduan suara di gereja, terutama untuk mengisi suara sebagai solis
atau penyanyi tunggal. Profesionalisme sebagai penyanyi harus bisa membuatku
tegar. Dengan hati berkeping-keping kususun nada demi nada false dalam irama
hidupku. Aku harus bangkit. Aku harus kuat. Aku ingin bangkit menjadi sepotong
hati yang tegar walau batal menikah.
Semua sahabat paduan suara sangat mengerti tentang peristiwa
batalnya rencana pernikahanku. Aku bahkan diijinkan untuk tidak usah menyanyi
dulu hingga hatiku tenang lagi. Namun aku menolak. Aku harus tetap menyanyi.
Jadwal acara menyanyi tak akan kuubah.
Pada saat pertama kali aku menyanyi lagu The Wedding dalam
pernikahan salah satu temanku pada masa sulitku itu, sahabat-sahabatku
menangis. Mereka menitikkan airmata haru melihatku begitu syahdu mengalunkan
lagu pengiring pengantin masuk ke gereja menuju altar suci untuk diberkati.
Sungguh ini sebuah keajaiban Tuhan. Aku begitu tegar menyaksikan pasangan
pengantin masuk ke gereja menuju altar dengan gaun pengantin nuansa Eropa yang
cantik itu. Hingga bait terakhir lagu berhasil kunyanyikan dengan sempurna dan
penuh perasaan.
Tanpa terasa aku telah melewati masa sulit ini. Siapakah
yang dapat bertahan jika bukan karena kebesaran Tuhan? Tuhan telah mengajakku
bercanda rupanya. Ketika aku sedang meratapi kepergian kekasih yang membatalkan
pernikahan kami, malah aku diberi semangat untuk terus bernyanyi bagi banyak
pasangan pengantin. Ya, ini berarti aku harus mampu miliki hati yang tegar.
Suatu hari, aku mendapat telepon dari mantan kekasihku, dia
mengatakan minta maaf karena telah meninggalkan aku. Aku tidak menaruh dendam
sedikitpun dan memaafkan keadaannya. Bahkan aku mendoakan kebahagiaannya.
Ketika ia menghubungi aku, mantan kekasihku ini mengalami kecelakaan dan tidak
bisa berjalan. Pada saat yang sama istrinya meninggalkan dia. Aku hanya bisa
berdoa agar dia dapat segera pulih dan sembuh seperti sediakala. Tetapi maafkan
aku Tuhan karena aku tak mungkin kembali padanya. Dia sudah sembuh dari
kecelakaan tersebut, namun dia memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena tak
menemukan kebahagiaan.
Aku berdoa agar semua dosa dan kesalahannya diampuni Tuhan.
Dia tetap sahabat yang terbaik dalam hidupku. Kini aku boleh mengucap syukur
dan membagikan kebahagiaan. Tanpa kuduga cinta sejatiku akhirnya datang. Betapa
indahnya rencana Tuhan. Semua diatur indah pada waktunya. Waktu yang tepat
sesuai rencanaNya. Aku telah menemukan seorang kekasih yang mencintaiku dengan
luar biasa dan yang membangun kembali reruntuhan puing-puing harapan tentang
istana cintaku. Tuhan terimakasih untuk semua ini. Kubagikan kisahku ini agar
menjadi pelita hati, percayalah dunia belum berakhir hanya karena engkau tidak
jadi menikah..
Suara Hati Saat Suamiku Ingin Menikah Lagi
Ini adalah ungkapan suci seorang istri ketika mendengar permohonan ijin
dari suaminya untuk menikah lagi. Istri mana yang rela suaminya menikah
lagi dan membagi cinta untuk dua wanita? Rasanya tidak ada seorang
wanita pun di dunia ini yang ingin diduakan, apalagi diduakan di depan
mata.
Rasanya duniaku runtuh ketika mendengarmu, suamiku tersayang, meminta
ijinku untuk menikah lagi. Membayangkan dirimu, lelaki yang paling
kusayangi, membagi segala bentuk cinta, perhatian, dan kebahagiaan
lainnya dengan wanita lain bukan hanya membangkitkan rasa cemburuku,
tapi juga rasa sakit hati tak berujung. Jangan protes jika aku merasa
begitu cemburu, hatiku sudah seperti disayat sembilu mendengarmu
ternyata akan segera membagi cintamu.
Jangan memprotesku yang memiliki sejuta cemburu, wahai suamiku.
Cemburuku ini adalah bukti nyata besarnya rasa cinta yang kumiliki
untukmu. Cintaku sudah tidak perlu lagi kau ragukan. Aku begitu
menghormatimu sehingga secepat kilat aku mengoreksi diriku sendiri. Apa
sebetulnya kurangku hingga membuatmu berpaling kepada wanita lain. Apa
saja kelemahan diriku yang membuatmu harus melabuhkan separuh hatimu
untuk wanita lain. Rasanya semua upaya sudah aku kerahkan untuk
membahagiakanmu, namun akhir yang harus aku terima tetaplah dimadu.
Sepanjang malam aku memikirkan jawaban atas pertanyaan tersulit yang kau
lontarkan. Apa yang harus kukatakan untuk menjawab pertanyaan yang
sebetulnya sangat tidak ingin aku jawab itu? Suamiku tercinta, tidak ada
seorang wanita pun di dunia ini yang ingin cintanya dibagi dengan
wanita lain. Tidak akan ada wanita yang rela melihat suaminya bermesraan
dengan wanita lain di depan mata. Sebelum kau melakukannya, duhai
suamiku, pernahkah kau mencoba berada di posisiku dan menjadi aku?
Maukah kau diduakan olehku? Tahukah kau bagaimana perasaanku?
Membayangkannya saja aku sudah tak mampu, bagaimana aku harus
melaluinya?
Kodratku sebagai wanita tentu menolaknya. Aku tidak mau membagi suamiku
baik secara fisik maupun secara emosional dengan wanita lain. Pernikahan
kita adalah tentang kita berdua, bukan tentang dia. Bagaimana mungkin
kau tega memasukkan sosoknya di kebhidupan kita? Nanti, apakah rasa
bahagiaku masih bisa sama? Bisakah kau memberikan jaminan cinta yang
sama rata antara aku dan dia? Ribuan pertanyaan menyerang otak dan
batinku. Rasanya batinku tidak lagi mampu memikirkan jawaban
pertanyaanmu.
Tibalah hari di mana aku harus menjawab pertanyaanmu. Kukembalikan
batinku kepada Tuhanku. Bahasa iman menggugah kesadaranku kembali. Aku
harus menguatkan diriku dan diri suamiku. Kuyakinkan diriku bahwa ini
semua sudah diatur oleh Tuhan. Jika aku memprotesnya, sama saja dengan
aku memprotes keputusan Tuhan. Jodoh sudah digariskan oleh Tuhan dan
jika jodoh wanita itu adalah suamiku, apakah aku harus menyalahkannya?
Suamiku telah bertahun-tahun menjadikan aku ratu di hidupnya, maka tidak
seharusnya aku menyebutnya sebagai pengkhianat atas segala rasa kasih
sayangku.
Aku memutuskan untuk mengatakan "ya, aku mengijinkanmu menikah dengan wanita itu."
Semoga ketika kau telah bersamanya, akan ada penghargaan lebih atas
kebersamaan kita. Dan aku pastikan kau tidak akan merasa ditinggalkan
olehku. Aku tahu bebanmu akan terasa lebih berat ke depannya karena akan
sangat sulit bagimu untuk memilih. Maka aku tak akan membawamu pada
posisi memilih. Sekaranglah saatku untuk membuktikan padamu bahwa aku
pantas menjadi perhiasan terindah yang pernah kau miliki dengan sebentuk
cinta yang aku miliki. Aku buka pikiranku dengan keikhlasan. Dan
keikhlasan itu akhirnya berbuah pikiran bahwa engkau bukanlah milikku
yang abadi.
Semoga kelegaan hatiku dan kemuliaan niatmu bukan hanya sekedar omong
kosong. Semoga seua itu akan menjadi bukti nyata pernyataan cinta kita
yang hanya karena Tuhan. Dan kini, aku mempersembahkan wanita itu
untukmu. Benar- benar sebuah akhir yang sangat melegakan bagi sebuah
kecintaan yang hanya karena Tuhan.
Cinta Dalam Hati
Sejak awal, keluarga Devi menolak kehadiran Mario. Ia berasal dari
keluarga yang biasa saja, tidak populer dan bukan keluarga terpandang.
Keluarganya khawatir bahwa Mario tak dapat membahagiakan Devi kelak,
sehingga akhirnya cinta mereka berdua harus disembunyikan dari semua
orang di sekelilingnya.
Karena tekanan keluarga tersebut Devi menjadi ragu akan cinta Mario.
"Sebesar apakah cintamu padaku?" tanyanya suatu hari pada Mario. "Aku
tak pandai berkata-kata, tetapi suatu saat nanti kau akan tahu sebesar
apa cintaku..." kata Mario. Jawaban itupun membuat Devi jadi semakin
bimbang. Ia berpikir, mungkin keluarganya benar. Mungkin ia harus
merelakan cintanya dengan Mario dan tidak berusaha mempertahankannya
lagi.
Kemarahan Devi terhadap jawaban Mario membuatnya tak ingin bertemu lagi
dengannya. Ia mengacuhkan Mario dan membuatnya menderita rasa pedih
karena patah hati.
Tak lama kemudian, Mario memutuskan untuk mengejar pendidikan ke luar
daerah. Meninggalkan kota asalnya dan berusaha menyembuhkan lukanya.
***
Lima tahun berlalu, sekalipun Devi merasa kecewa terhadap Mario, ia tak
bisa melupakannya walau sedetik saja. Di dalam hati, cintanya terhadap
Mario masih kokoh tertanam di sana.
Teringat pada sebuah cafe kecil tempat mereka biasa bertemu diam-diam,
Devipun tertegun. Tanpa disadari sebuah mobil melaju kencang di
depannya. Mobil yang dikendarainyapun tak sanggup menghindar. Ia
dilarikan ke rumah sakit dan harus mendapat penanganan serius.
"Ia sudah melewati masa krisisnya, bu. Tetapi ia akan kehilangan suara,
selamanya..." jelas dokter menghancurkan hati kedua orang tua Devi.
Sejak saat itupun Devi lebih banyak memilih menyendiri. Usulan orang tua
untuk pindah ke desapun diterimanya.
***
Hari itu sahabat Devi datang membawa sebuah amplop. Sambil bercerita
girang ia tak mempedulikan Devi yang masih terbengong mendengar kata
Mario. "Kamu tahu nggak sih ternyata Mario sudah pulang sebulan lalu.
Aku juga kaget waktu menerima undangan ini, makanya aku cepat-cepat
menyetir mobilku ke sini. Dia ingin aku menyampaikan amplop undangan
pernikahannya." kata sahabatnya.
Devi tertegun. Air matanya mengalir deras dan ia kesal karena ia tak
dapat berkata apapun. Ia hanya bisa menyimpan semuanya dalam hati.
Berlarilah ia ke halaman dan duduklah ia di bawah pohon tempat ia biasa
melamun. Dibukanya amplop berwarna biru terang itu perlahan. Ia sudah
pasrah dan akan rela menerima kecewa yang pantas diterimanya.
Tak terbayangkan. Saat ia membuka undangan tersebut, namanyalah yang
tertera di sana. Dengan undangan tersebut, Mario melamarnya. Memintanya
menjadi mempelai baginya minggu depan nanti. Devipun akhirnya tahu bahwa
Mario telah mempersiapkan semua tetek bengek pernikahan dalam waktu
sebulan ini. Ia juga tahu benar bagaimana kondisinya lewat sahabatnya.
"Dan inilah jawaban pertanyaanmu hari itu. Inilah besarnya cintaku padamu..." suara Mario mengagetkan dari belakang.
Berlarilah Devi dan memeluk Mario erat. Dengan bahasa isyarat yang telah
dipelajarinya, ia mengucapkan "Aku mencintaimu, Mario..."
Cerita Tentang Tissue Gulung dan Cinta Suamiku
Mungkin Anda bertanya-tanya, apa bagusnya sih menceritakan tissue gulung. Seperti nggak ada istimewanya. Kan ada tuh istilah 'don't judge the book from its cover' Kali
ini, jangan berburuk sangka dulu dengan cerita soal tissue gulung dan
cinta seorang suami. Kira-kira beginilah ceritanya...
Sepasang suami istri pasangan muda yang telah hidup bersama selama
setahun sedang bercengkerama berdua di rumah. Tak melakukan kegiatan
apa-apa sang istri kemudian berdiri di atas cermin.
"Sayang, dadaku ini begitu kecil. Aku tidak percaya diri saat bertemu
dengan istri temanmu yang dadanya bagus-bagus itu," katanya
Sang suami tak segera menjawab dan terdiam sejenak. Lantas ia bergegas ke kamar mandi, mengambil gulungan tissue.
"Nih, kamu ingin agar dadamu besar kan? Coba pakai tissue gulung ini dan usap-usapkan di dada setiap selesai mandi," kata suami.
Tak berapa lama si istri kemudian bergegas mandi dan mempraktekkan apa
yang diusulkan suaminya tadi. Sepanjang mandi ia berpikir, "ah apa benar
cara ini bisa membuat dadaku jadi besar ya?" batinnya dalam hati.
Setelah selesai mandi ia pun mendekati suaminya lagi.
"Suamiku, masa iya sih cuma menggosok-gosokkan tissue saja bisa bikin dada jadi besar?" tanya sang istri polos.
"Setiap hari kau menggosok pantat dengan tissue saja pantatmu sudah
semakin besar. Nah, siapa tahu itu juga bisa berhasil saat dilakukan di
dada..." canda suaminya sampai sang istri cemberut.
Sang suamipun mendekati istrinya dan berkata, "aku mencintaimu tidak
hanya sehari dua hari. Semua yang kamu miliki adalah sesuatu yang harus
kau dan aku syukuri. Jadi mengapa harus bingung dengan ukuran dada yang
sehat itu?"
Tentu saja tips menggosok-gosokkan tissue tadi hanya akal-akalan
suaminya saja. Bagaimanapun saat menyinggung soal berat badan atau
ukuran dada, pria selalu merasa serba salah menjawabnya. Bersyukur sang
suami punya selera humor yang mengubah keluhan istrinya menjadi rasa
syukur yang luar biasa. Apapun yang kau miliki saat ini, bentuk tubuh,
ukuran dada, warna kulit, semuanya adalah sesuatu yang harus disyukuri,
bukan dikeluhkan :)
Ngomong-ngomong, tak perlu bertanya pada suami soal Anda gemuk atau
tidak, atau ukuran dada Anda ya. Karena percayalah, suami Anda tidak
mencintai Anda hanya karena fisik semata
Mengapa Kamu Mencintaiku?
Suatu hari, seorang pasangan kekasih sedang berjalan-jalan di taman.
Dipetiknya sebuah bunga yang cantik oleh si pria dan diberikan kepada
kekasihnya, "ini untukmu sayang." Di luar dugaan, kekasihnya justru
terdiam. Tak berapa lama kemudian ia bertanya pada kekasihnya?
Wanita: Kenapa kau menyukaiku? kenapa kau mencintaiku?
Pria: Aku juga tidak tahu alasannya. Tetapi aku sangat menyukaimu, aku mencintaimu, sayang.
Wanita: Kamu jahat. Kamu bahkan tidak bisa menyebutkan satu alasanpun
mengapa kau menyukai aku. Kalau suatu saat nanti ada yang lebih cantik
dari aku pasti kau akan meninggalkan aku. Bagaimana bisa kau bilang kau
mencintaiku jika kau tak tahu alasannya?
Pria: Aku benar-benar tidak tahu alasannya, sayang. Tetapi, bukankah
perhatian, kasih sayang dan kehadiranku di hidupmu sudah menjadi bukti
cintaku?
Wanita: Bukti apa? Semua tidak membuktikan apapun. Aku hanya butuh alasan, kenapa kamu bisa menyukaiku? Kenapa kamu mencintaiku?
Pria: Baiklah, akan kucoba cari alasannya. Eum... karena kamu cantik,
kamu punya suara yang indah, kulitmu halus, rambutmu lembut... Cukupkah
alasan itu?
Kekasihnya kemudian mengangguk, dan menerima bunga itu dengan senang hati.
***
Beberapa hari kemudian, sebuah kecelakaan menimpa wanita tersebut. Ia
harus kehilangan rambutnya yang panjang dan lembut karena terjepit dan
terpaksa harus dipotong. Ia juga harus kehilangan suara dalam beberapa
waktu karena pita suaranya terbentur keras. Kulitnya yang dulu halus
mulus kini terpapar beberapa jahitan. Ia terbaring tak berdaya.
Di sampingnya ada secarik surat. Iapun membacanya.
"Kekasihku,
Karena suaramu tak lagi semerdu dulu, bagaimana aku bisa mencintaimu?
Dan karena rambutmu kini sudah tak panjang dan lembut lagi, aku tak bisa membelainya. Aku juga tak bisa mencintaimu.
Apalagi kini banyak jahitan di wajahmu yang dulu mulus.
Jika benar cinta itu butuh alasan, kurasa aku benar-benar tak bisa mencintaimu lagi sekarang.
Tetapi....
Cintaku bukan cinta yang palsu.
Cintaku kepadamu tulus. Aku menyukai dirimu yang apa adanya. Aku
tidak jatuh cinta karena kau punya suara yang merdu, rambut yang indah
serta kulit yang mulus. Aku mencintaimu tanpa alasan apapun.
Sampai kapanpun, aku tetap akan mencintaimu. Sekalipun nanti rambut
putihmu mulai tumbuh, kulitmu mulai menua dan keriput, aku selalu
mencintaimu.
Menikahlah denganku..."
Cinta tak pernah membutuhkan alasan. Ia juga akan tetap hadir secara
misterius. Datang tanpa pernah diduga sebelumnya. Percayalah akan
kekuatan cinta, karena kau tak pernah tahu seberapa besar ia akan
membuat hidupmu bahagi
Cinta Tidak Harus Memiliki
Namaku
Ratri, usiaku sekarang 17 tahun. Kisah cinta ini mungkin tragis,
mungkin kalian menganggapku bodoh, tetapi aku ingin membaginya dengan
kalian.
***
Aku
jatuh cinta pertama kali saat duduk di bangku SMP, kelas 1. Pemuda itu..
sebut saja Nicko. Dia bukan tipe pemuda yang disukai banyak siswi, aku
juga tidak tahu kenapa bisa menyukainya. Mungkin senyumnya yang hanya
berbentuk lengkung kecil, mungkin suara tawanya saat berhasil mencetak
gol ketika pelajaran olahraga, mungkin sikap diamnya, entahlah..
Waktu
itu aku terlalu malu untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya
bisa diam-diam memperhatikan. Aku suka dengan wajah seriusnya saat
mengerjakan tugas kimia atau matematika. Wajah dan senyum yang berhasil
meluluhkan hatiku, membuatku selalu memikirkannya, tersenyum sendiri,
membayangkan jika dia menggandeng tanganku dan hal-hal alami yang akan
dirasakan saat seorang gadis sedang jatuh cinta.
Semua terasa indah..
Walaupun hanya dalam anganku saja.
Bodohnya,
aku tidak berani memberi sinyal rasa sukaku. Kami hanya seperti teman
biasa yang saling bercanda dan semua tampak biasa. Padahal, sejujurnya
aku ingin dia tahu perasaanku, dan berharap dia merasakan hal yang sama.
Ah cinta.. mengapa begitu rumit?
Saat
kelas 2 SMA, Yuda berpacaran dengan seorang siswi yang satu kelas
denganku. Jangan tanya betapa remuk hatiku menerima kenyataan tersebut.
Bunga cintaku harus layu sebelum berkembang. Tidak ada yang tahu
perasaanku, bahkan ibu dan sahabat-sahabatku, semua aku pendam seorang
diri. Aku berusaha menutup rapat perasaanku, menguburnya jauh-jauh.
Tetapi tidak bisa, aku tetap menyukai Yuda, mencintainya sepanjang
waktu.
Tahun
demi tahun berlalu. Aku sudah menyelesaikan kuliahku dan berpacaran
dengan seorang pria baik. Anehnya, aku masih saja memikirkan Yuda.
Seperti ada ganjalan aneh yang belum sempat aku sampaikan padanya.
Kondisiku
serba salah, hatiku masih mencintainya, aku ingin Yuda tahu bahwa aku
menyukainya, itu saja. Aku ikhlas jika cintaku bertepuk sebelah tangan.
Aku hanya ingin melegakan hatiku, agar aku merelakannya. Tetapi aku
tidak bisa melakukannya, aku sudah punya kekasih, dan Yuda.. tiga bulan
lagi (saat aku menulis kisah ini), dia akan menikah.
Aku mencintainya..
aku ingin dia bahagia,
walaupun bukan denganku.
Hingga
saat ini, dia tidak tahu bahwa aku menyimpan sepenggal hati untuknya.
Biarlah.. mungkin kalian menganggap kisah ini bodoh, tetapi aku tidak
punya kuasa untuk memilih dengan siapa aku akan jatuh cinta.
Mungkin apa yang sering dikatakan orang-orang benar adanya..
Cinta tidak harus memiliki.
Aku Cinta Kamu Dan Dia
Tak pernah terbayang sebelumnya di benakku, bisa mencintai dua orang
sekaligus. Aku tahu ini salah, tetapi yang aku tak tahu adalah bagaimana
bisa memilih dia tanpa menyakiti hatimu.
"Bang, besok kita jadi ke pantai?" tanyaku sambil tetap asyik dengan
ponsel di genggamanku. "Nggak jadi ah kamu sibuk sendiri gitu!" candanya
sambil mengacak-acak rambutku. Dipa adalah sosok pria yang belum lama
ini dekat denganku. Sebenarnya kami sudah saling kenal cukup lama,
tetapi tak ada yang menyadari mulai kapan perasaan kagum dan sayang itu
muncul. Aku sendiri memanggilnya abang karena ia memang sangat perhatian
padaku. Usia kami berbeda 5 tahun, dan ia tahu benar bagaimana cara
memanjakan aku.
Namaku Amel, aku punya kekasih. Ya! Aku punya kekasih yang aku sayangi.
Tetapi aku tak dapat menolak kedekatanku dengan Dipa ini. Diam-diam tiga
bulan ini kami jalan, ke sana kemari berdua. Saling menghujani satu
sama lain dengan perhatian. Menjaga dan bercanda, kami seperti sepasang
kekasih yang saling mengagumi satu sama lain. Tak pernah kehabisan bahan
cerita dan seperti bisa saling menutupi kekurangan masing-masing.
Kekasihku. Hmm... sebenarnya aku mencintainya. Kami toh sudah jalan
lebih dari 3 tahun lamanya. Tetapi entah kenapa kami seperti orang asing
yang tak punya chemistry satu sama lain. Bercanda saja kami jarang.
Tetapi ajaibnya kami bisa bertahan dalam hubungan untuk sekian lama.
"Lalu mengapa harus dipertahankan?" pertanyaan tersebut selalu
menggangguku setiap saat. Sayangnya hingga kini, aku tak juga tahu
jawabannya.
***
"Kamu tahu, setiap ada di dekatmu aku selalu ingin memelukmu. Serasa tak
ingin melepaskanmu..." kata Dipa saat kami menikmati matahari tenggelam
di pantai sore itu. Aku terdiam. Aku tak dapat berkata apa-apa dan
menikmati pelukannya. Namun, ada sedikit rasa tak nyaman juga di dalam
hatiku. Aku teringat pada kekasihku, yang entah hari ini sedang ngapain
hehe. Tetapi setidaknya memang aku merasa bersalah padanya, dan kian
hari rasa bersalah itu semakin besar.
"Bang, sampai kapan memangnya kita harus begini terus?" tanyaku?
"Maksudmu itu apa? Ya sampai selamanyalah..." kata Dipa.
"Bukan begitu. Tapi... aku butuh kepastian, bang. Kita nggak bisa
seperti ini terus. Kita butuh kejelasan hubungan," kataku lagi
melepaskan pelukannya dan kemudian menatap dalam-dalam matanya.
"Hmm... aku tahu maksudmu. Tetapi, aku sendiri tak tahu harus bagaimana
saat ini. Lebih baik kita jalani saja dulu ya..." Dipa meraih tanganku,
memainkan rambutku dengan lembut. Aku tetap membisu. Tak tahu harus
berkata apa padanya.
***
"Nak Amel, tante itu senang lho Ricky bisa jalan dengan nak Amel sekian
lama. Maksud hati sih kalian lekas meresmikan hubungan saja," kata tante
Lia saat mengajakku ngopi sore itu. Aku nyaris tersedak. Tak pernah
terpikir sebelumnya di benakku tante Lia akan ngobrol tentang hal itu.
Oya, tante Lia adalah ibu Ricky, kekasihku. Sebenarnya ia juga adalah
teman ibuku, jadi ceritanya dulu memang kami sengaja dikenalkan.
Ricky sendiri hanya senyum-senyum duduk di sampingku, tak berkomentar
apa-apa. Dan aku tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya.
"Iya, beneran nih. Tante sudah bicara sama mama dan papamu. Mereka
setuju kok kalau kalian segera menikah tahun ini. Kami sudah tak sabar
ingin menimang cucu..." ungkap tante Lia sambil tertawa senang hatinya.
Aku menanggapinya dengan senyum yang aku tak tahu itu apa. Aku hanya tak
tahu harus berkata apa.
***
"Bang, aku mau dinikahin nih," kataku pada Dipa. Ia terdiam. "Maksudmu
dengan dinikahin itu apa?" ia bertanya balik. "Ya orangtuaku dan tante
Lia setuju kalau aku dan Ricky segera menikah. Mereka malah sudah
merencanakan hal itu. tahun ini."
"Lalu, kamu bilang apa?" wajah Dipa mulai serius. Ia meninggalkan
kesibukannya dan tampak mulai khawatir. "Ya aku nggak bilang apa-apa
sih. Tapi..."
"Tapi apa? Kamu bilang nggak mau kan?" ia semakin gusar.
"Aku rasa aku nggak bisa menolaknya, bang." aku memalingkan wajah darinya. Aku takut melihat kekecewaan di wajahnya.
"Aku... aku balik dulu Mel. Aku ada perlu." Aku sudah menyangka ini akan
terjadi. Dipa kecewa dan terluka. Aku harus bagaimana? Berpikir selama
beberapa detik, kemudian aku mengejarnya.
"Bang... tunggu!" kataku. "Gimana kalau kita kawin lari?" aku tak pernah
menyangka bahwa kalimat ini akan keluar dari mulutku. Namun nyatanya
keluar juga. Dipa terdiam dan tak berpaling padaku. Kuhentikan langkahku
dan menunggu ia berbalik dan memelukku. Ia tak pernah berbalik. Ia
meneruskan langkahnya dan memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
***
"Kamu cantik lho Nak Amel dengan busana pengantin ini," kata tante Lia
padaku. Mama mengangguk setuju. Akupun tersipu di depan mereka.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Ricky. Hari yang
diharap-harapkan oleh banyak orang untuk melihatku bahagia. Kalau
dipikir-pikir, aku sebenarnya beruntung. Bisa menikah dengan orang yang
aku cinta, direstui dan didukung oleh keluarga. Tetapi seperti ada yang
hilang di dalam hatiku.
Dipa. Entah ke mana ia pergi setelah hari itu. Aku tak pernah melihat
dan mendengar kabarnya lagi. Ia seperti lenyap ditelan bumi. Aku sendiri
tak berniat mencarinya, karena kupikir ia akan berbalik dan memelukku.
Aku juga tak pernah terbayang bagaimana bila ternyata hari itu ia
mengiyakan ajakanku. Mungkin saat ini aku tak melihat tante Lia, tak
melihat senyum di wajah mama dan papa.
Haha. Bodohnya aku. Mengapa sampai terucap kalimat itu. Bukannya aku
seharusnya tahu bahwa hubungan kami itu nggak mungkin terwujud.
"Amel, semua sudah menunggu di bawah," kata mama memintaku untuk segera
turun dan bersiap untuk ijab kabul. "Iya, ma... sebentar lagi," kataku.
Kupandang lagi cermin di kamarku, kemudian beralih mencari udara segar
di jendela kamar. "Baiklah, ini mungkin sudah menjadi jalanku. Aku tak
bisa mundur lagi. Maafkan aku, Bang Dipa. Aku tak bisa menunggu sesuatu
yang tak pasti darimu. Aku mencintaimu, namun aku juga mencintai dia,"
kataku dalam hati kemudian beranjak dari kamarku.
Dia Pergi Meninggalkan Cinta Untukku
Aku membencinya. Kata itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir di sepanjang kebersamaan kami. Meskipun
aku telah menikahinya, aku tidak pernah benar-benar menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena paksaan orangtua membuatku membenci suamiku
sendiri. Walaupun menikah dengan rasa terpaksa, aku tidak pernah
menunjukkan sikap benciku kepada suamiku. Meskipun membencinya, setiap
hari aku melayaninya. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tidak
punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan untuk
meninggalkannya tapi aku tidak punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orang tuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri semata wayang
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang
sangat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Aku selalu bergantung
padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang
dia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga aku
merasa dia sudah berkewajiban membuatku bahagia dan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tidak ada
seorang pun yang berani melawan keinginanku. Jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tidak suka handuknya yang
basah diletakkan di tempat tidur. Aku sebal melihatnya meletakkan sendok
sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket. Aku
benci ketika dia memakai komputerku untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Dan aku juga marah kalau dia menghubungiku berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, aku tidak mau mengurus anak. Awalnya, dia
mendukung keputusanku untuk minum pil KB. Rupanya dia menyembunyikan
keinginan begitu dalam untuk memiliki anak. Hingga suatu hari aku lupa
minum pil KB. Dia tahu namun membiarkannya. Singkat cerita, aku hamil
dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan. Itulah kemarahan
terbesarku padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung
sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan patuh dia melakukan semua keinginanku.
Waktu berlalu hingga anak-anak tidak
terasa berulang tahun yang ke-8. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku
bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan.
Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah. Hari itu, dia mengingatkan aku kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya. Aku memilih pergi ke mall dan tidak hadir di
acara ibu.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, dia juga
memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya. Aku berusaha mengelak dan
melepaskan pelukannya meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama
anak-anak. Dia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu,
seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, aku memutuskan untuk
pergi ke salon. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, aku
terkejut ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun
merogoh tasku hingga bagian terdalam, aku tidak menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku
tidak bisa kutemukan aku menelepon suamiku.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta
uang jajan dan aku tidak punya uang kecil. Maka kuambil uang dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu dan kalau tidak salah aku
meletakkannya di atas meja kerjaku.” katanya sambil menjelaskan dengan
lembut.
Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara. tidak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi. Meski masih kesal, aku mengangkatnya
dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan
ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada di mana?”
tanya suamiku cepat, khawatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut
nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup
telepon.
Hujan turun ketika aku melihat keluar
dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. tidak
ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering, suamiku sudah mengangkat teleponku. Aku mulai
merasa marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara
lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, Ibu. Apakah ibu
istri dari Bapak Arman?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi yang memberitahu bahwa suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini dia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya
menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan
bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku
menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di
rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di
sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di
depan ruang gawat darurat. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena
selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Setelah menunggu
beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib, terdengar seorang
dokter keluar menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Dia pergi
bukan karena kecelakaan itu sendiri. Serangan stroke lah yang
menyebabkan kematiannya. Sama sekali tidak ada airmata keluar di kedua
mataku. Aku sibuk menenangkan ayah, ibu dan mertuaku. Anak-anak
memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tidak mampu
membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku
duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali
inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.
Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu
selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak di mataku dan mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tidak
menghalangi tatapan terakhirku padanya. Aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tidak berakhir begitu
saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku.
Aku ingat betapa aku tidak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tidak pernah mengatur pola
makannya. Dia selalu mengatur apa yang kumakan, memperhatikan vitamin
dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah
melahirkan, dan dia pula yang tidak pernah absen mengingatkanku makan
teratur. Bahkan terkadang dia menyuapiku kalau aku sedang malas makan.
Aku tidak pernah tahu apa yang dia makan karena aku tidak pernah
bertanya. Aku tidak tahu apa yang dia sukai dan tidak disukai. Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan
kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu dia mungkin
terpaksa makan mie instant karena aku hampir tidak pernah memasak
untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku
tidak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Dia bisa
makan masakanku hanya kalau bersisa.
Saat pemakaman, aku tidak mampu menahan
diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun jasadnya. Aku tidak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tidak
pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan. Aku
terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di awal kepergiannya, aku
duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku yang
membujukku makan kalau aku sedang malas makan. Ketika aku lupa membawa
handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa. Ketika
malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi
berharap dia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku
tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar
tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah
karena semua terlihat normal meskipun dia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana dan meninggalkan wangi yang membuatku
rindu. Aku marah karena tidak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku
marah karena tidak ada lagi yang membujukku agar tenang dan tidak ada
lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku sholat karena aku ingin meminta maaf pada Allah karena
menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku dan meminta ampun karena
telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak
yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tidak pernah bekerja. Yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang dia transfer ke rekeningku untuk keperluan
pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tidak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tidak menyangka bahwa
ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Aku tidak
pernah sedikitpun menggunakan gaji itu untuk keperluan rumah tangga.
Yang aku tahu sekarang, aku harus bekerja atau anak-anakku tidak akan
bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan
cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Dia membawa banyak
sekali dokumen. Notaris itu memberikan surat pernyataan bahwa suamiku
mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak. Yang membuatku
tidak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf
karena harus membuatmu bertanggung jawab dan mengurus segalanya sendiri.
Maaf karena aku tidak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Tuhan
memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa,
aku ingin mendampingimu selamanya.
Tetapi aku tidak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan
kalian nanti. Aku tidak ingin kalian susah setelah aku pergi. Tidak
banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap kamu bisa memanfaatkannya
untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan
padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tidak sempat kau lakukan selama
ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh
yang lebih baik dariku.
Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku
kalau dia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil. Aku hanya
bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami,
sehingga ketika ajal menjemputnya, dia tetap membanjiri kami dengan
cinta.
Aku tidak pernah berpikir untuk menikah
lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tidak mampu menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk
anak-anakku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian, tapi aku tidak pernah bisa bebas dari cintanya
yang begitu tulus.
Cintaku Pupus Karena Beda Agama
Usiaku 20 tahun ketika berkenalan dengan Angga, dia adalah teman satu
kampus denganku. Walaupun beda fakultas, kami sering bertemu saat makan
di kantin atau saat menghadiri acara kampus. Singkat cerita, kami saling
jatuh cinta dan mulai berpacaran.
Angga adalah pemuda yang baik dan sopan, dia juga bukan tipe pria yang
suka mempermainkan wanita, karena itulah aku jatuh cinta padanya. Tetapi
di balik sifat baiknya, ada satu hal yang bisa menjadi penghalang
hubungan kami, yaitu agama yang berbeda.
Sejak awal, kami menekankan bahwa tidak boleh ada pacaran diam-diam,
kami serius dengan hubungan kami, sehingga orang tua kami harus tahu.
Pada awalnya, kedua orang tua kami menerima hubunganku dan Angga, mereka
tidak mempermasalahkan perbedaan kami yang sangat prinsip. Aku dan
Angga juga tidak pernah saling memaksa, kami tetap beribadah sesuai
agama kami. Aku menghargai Angga dan agamanya, demikian juga dia. Itulah
yang aku suka darinya, pemikiran yang dewasa dan tidak pernah memaksa.
Tanpa terasa, hubungan kami berjalan empat tahun. Aku dan Angga beberapa
kali membicarakan pernikahan. Mulai dari menabung agar bisa menikah
legal di negara lain (kami ingin tetap memegang agama masing-masing saat
menikah), hingga bagaimana saat kami punya anak nanti. Semua sudah kami
bicarakan dan baik-baik saja.
Hingga.. orang tua kami sedikit demi sedikit menentang hubungan kami. Di
kedua belah pihak, mereka ingin agar hubungan kami berakhir. Bagi orang
tuaku dan orang tua Angga, hal yang paling prinsip tidak akan bisa
disatukan dengan cinta. Bisa saja kami menerima di awal, tetapi akan
banyak cemooh dari orang-orang.
Semakin hari, kedua orang tua kami semakin keras menentang hubungan
kami. Sekuat apapun aku dan Angga menjelaskan, mereka tidak mau terima.
Kedua orang tuaku ingin agar Angga masuk agamaku, sedangkan orang tua
Angga ingin agar aku masuk agama mereka.
Bukannya tidak ingin mengalah atau egois, aku dan Angga pada akhirnya
sama-sama mengalah. Kami tidak ingin hubungan keluarga hancur jika kami
memaksa. Akhirnya aku dan Angga memutuskan hubungan kami, memutuskan
ikatan cinta kami.
Jangan tanya bagaimana perih dan sakitnya hatiku, aku juga merasakan hal
yang sama pada Angga. Kami sama-sama terluka, kami saling mencintai
tetapi harus berpisah dengan perbedaan ini.
Mungkin Angga memang bukan jodohku, dan mungkin aku memang bukan jodoh untuk Angga.
Aku masih belajar untuk menerima kenyataan ini, sulit memang, tetapi aku tidak bisa memilih antara cinta, agama dan orang tuaku.
Mengalah tak selamanya kalah, aku juga masih menghormati orang tuaku.
Semoga kelak, aku bisa mendapatkan pria yang baik..
Suamiku Mencintai Wanita Itu
Selama bertahun-tahun, kehidupan pernikahan kami berjalan sebagaimana
mestinya. Dia selalu memenuhi kebutuhan keluarga sebagaimana mestinya.
Kami juga tidak pernah bertengkar hebat karena hal-hal tertentu. Saat
pertengkaran kecil melanda, dia cenderung diam selama beberapa saat.
Setelah emosinya mereda, dia pun kembali bersikap seperti biasa.
Suamiku biasa menciumku dua kali sehari yaitu sebelum dia berangkat
bekerja dan sepulang dia bekerja. Kebiasaan ini sudah menjadi patokanku
bahwa dia mencintaiku dengan segenap hati dan perasaannya karena sewaktu
pacaran pun dia tidak pernah romantis. Kami jarang mengobrol sampai
malam, jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua di luar pun
hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik
sendiri dengan sendok garpu kami. Alih-alih obrolan hangat, yang
terdengar hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu. Kalau
hari libur, dia lebih sering tiduran di kamar atau bermain dengan
anak-anak. Dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam,
aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama 8 tahun pernikahan
kami. Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, suamiku tergolek
sakit di rumah sakit. Karena jarang makan dan sering jajan di kantornya
dibandingkan makan di rumah, dia kena typhoid dan harus dirawat di rumah
sakit. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang
menjenguknya. Dia bernama Rika, teman Dhika di masa kuliah. Rika tidak
secantik aku. Dia begitu sederhana. Tapi aku tidak pernah melihat mata
yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah penuh
kehangatan dan penuh cinta. Ketika dia berbicara, seakan-akan waktu
berhenti berputar dan terpana dengan kalimatnya yang ringan dan penuh
pesona. Setiap orang akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Rika tidak pernah kenal dekat dengan Dhika selama mereka kuliah dulu.
Rika bercerita Dhika sangat pendiam sehingga jarang punya teman yang
akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu karena ada pekerjaan kantor yang
mempertemukan mereka. Rika yang bekerja di advertising akhirnya bertemu
dengan Dhika yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya
bekerja.
Aku mulai mengingat-ingat. Lima bulan lalu ada perubahan yang cukup
drastis pada Dhika. Setiap akan berangkat bekerja, dia tersenyum manis
padaku. Dalam sehari, dia bisa menciumku lebih dari tiga kali. Dia juga
membelikan aku parfum baru dan mulai sering tertawa lepas. Tapi di saat
lain, dia sering termenung di depan komputernya. Ketika aku bertanya,
dia hanya berkata bahwa ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Rika pernah datang pada saat Dhika sakit dan masih dirawat di
rumah sakit. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan
wajah kesal karena Dhika tidak mau aku suapi. Rika masuk ke kamar dan
menyapa dengan suara riangnya, “hai Rima, apa yang terjadi dengan anak
sulungmu ini? Tidak mau makan juga? Uhh… dasar anak nakal, sini
piringnya," lalu dia terus mengajak Dhika bercerita sambil menyuapi
Dhika. Tiba-tiba saja sepiring nasi itu sudah habis di tangannya. Dan...
aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata
suamiku seperti siang itu. Aku tidak pernah bertanya apakah suamiku
mencintai perempuan berhati bidadari itu karena tanpa bertanya pun aku
sudah tahu apa yang bergejolak di hatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta. Aku tidak pernah
menyangka hatiku pun akan mendung dan bahkan gerimis. Anak sulungku,
seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, berhasil membuka password
email papanya dan memanggilku, “Mama, mau lihat surat papa buat Tante
Rika?” Aku tertegun memandangnya, dan membaca isi surat elektronik itu:
Dear Rika,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh
relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini,
bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan
aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku. Ketika aku menikahinya,
aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada
perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu. Tidak ada perasaan
rindu ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti
perasaannya. Ketika konflik terjadi seperti saat kami pacaran dulu, aku
sebenarnya kecewa. Tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia
bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku
tetap terasa hampa meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu bagaimana cara menumbuhkan cinta untuknya seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu karena kau sudah menjadi milik
orang lain. Dan aku adalah laki-laki yang sangat memegang komitmen
pernikahan kami. Rima bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama
aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak
dengan jiwaku dan cintaku yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada
tembok yang menghalangi kita, aku berharap engkau mengerti bahwa you are
the only one in my heart.
yours,
Dhika
Mataku terasa panas. Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah
bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain. Aku mengumpulkan
kekuatanku. Sejak itu, mobil yang dia berikan untukku kukembalikan
padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa uang
belanja dan aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak-anakku.
Dhika merasa heran karena aku tidak pernah lagi bermanja. Aku terpuruk
dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena malu terlalu
lama pacaran di saat teman-temanku sudah menikah semua. Ternyata dia
memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu bahwa aku juga seorang
perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? Mengapa
dia tidak mengatakan saja bahwa dia tidak mencintaiku dan tidak
menginginkanku? Itu jauh lebih kuhargai daripada hanya diam dan
melamarku serta menikahiku.
**********
Setahun kemudian..
Rika membuka amplop surat itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan dipenuhi bunga.
Dhika, suamiku..
“...Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah. Engkau tidak lagi
sedingin es. Namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari
matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu
berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Rika...”
Di surat yang kesekian,
“…Aku bersumpah akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku telah berubah,
Dhika. Aku tidak lagi marah-marah padamu, tidak lagi suka membanting
barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar memasak dan tidak lagi
boros. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku merawatmu jika
engkau sakit dan aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi. Aku
menungguimu sampai tertidur di samping tempat tidurmu di rumah sakit
saat engkau dirawat. Meskipun sinar cinta itu belum terbit dari matamu,
aku akan tetap berusaha dan menantinya...”
Rika menghapus airmata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya. Dipeluknya Fika yang tersedu-sedu disampingnya.
Di surat terakhir, pagi ini…
“...Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun
lalu engkau tidak pulang ke rumah. Tapi tahun ini aku akan memaksamu
pulang karena hari ini aku memasak makanan yang paling enak sedunia.
Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tuti sampai kehujanan dan
basah kuyup karena waktu pulang hujannya deras sekali dan aku hanya
mengendarai motor.
Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran di
matamu. Engkau memelukku dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak
sakit. Tahukah engkau suamiku... Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6
tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku
melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda cinta mulai
bersemi di hatimu?”
Fika menatap Rika, dan bercerita,
“Siang itu Mama menjemputku dengan motornya. Dari jauh aku melihat
keceriaan di wajah mama. Dia terus melambai-lambaikan tangannya
kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama
seperti siang itu. Dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah-marah
kepadaku, aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya di seberang
jalan dan ketika mama menyeberang jalan, tiba-tiba mobil itu lewat dari
tikungan dengan kecepatan tinggi. Aku tidak sanggup melihatnya
terlontar, Tante. Aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak
lagi bergerak."
Fika memeluk Rika dan terisak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil
untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa. Rika
mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Dhika mengirimkan
email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Rika,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda. Dia tidak lagi
marah-marah dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia
pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan. Aku sangat khawatir
dan memeluknya. Tiba-tiba aku baru menyadari betapa beruntungnya aku
memiliki dia. Hatiku mulai bergetar. Inikah tanda aku mulai
mencintainya? Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau
sarankan, Rika. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya. Aku
akan membelikan mobil mungil untuknya supaya dia tidak lagi naik motor
kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak-anakku, tapi karena dia
belahan jiwaku.
Rika menatap Dhika yang tampak semakin ringkih dan terduduk di samping
nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi,
Dhika. Kadang kita baru menyadari bahwa kita mencintai seseorang ketika
seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya: